Q & A Singkat Tentang Bisnis Syariah
Q&A singkat tentang bisnis Syariah
Shamsi Ali *)
Setelah pesan saya viral tentang keterlibatan mereka yang mengingkari kata “syariah”, bahkan boleh jadi tidak menyukai alias membenci kata itu, tapi mengaku menjalankan bisnis syariah, saya dikirimi beberapa pertanyaan oleh beberapa orang. Pertanyaan dalam banyak hal, salah satunya adalah apakah bisnis Syariah tidak boleh dilakukan oleh non Muslim?
Berikut saya tuliskan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban saya apa adanya. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.
Q berarti penanya. A berarti saya.
Q: Pak Ustadz, setelah membaca tulisan Ustadz, saya mau hanya nih. Apakah bisnis Syariah hanya diperbolehkan dijalankan oleh mereka yang beragama Islam?
A. Rasanya saya tidak menyebutkan ditulisan saya kok. Apakah saya katakan bisnis Syariah hanya boleh dilakukan oleh mereka yang beragama Islam? Di bagian mana?
Q: Bukan begitu maksud saya pak Ustadz. Saya mungkin salah menangkap maksud Ustadz? Maksud saya apakah non Muslim dilarang menjalankan bisnis Syariah? Setahu saya dalam hal Muamalat, termasuk bisnis, tidak ada larangan bagi non Muslim.
A. Iya saya memang tidak mengatakan tidak boleh. Saya hanya mengatakan bahwa untuk sebuah bisnis dikategorikan bisnis Syariah ada beberapa persyaratan terkait. Tapi yang terpenting harus dipahami adalah kata itu (Syariah) tidak bisa dilepaskan dari ikatan agama. Syariah itu artinya hukum agama.
Q: Lalu masalahnya di mana Ustadz? Apakah tidak baik kalau non Muslim menjalankan hukum agama kita (Islam)?
A: Masalahnya ada pada “pengakuan” Syariah. Bisakah seseorang yang tidak percaya kepada agama ini lalu percaya kepada hukumnya? Ibaratnya tidak mengakui NKRI tapi seolah percaya dengan UUD 45? Logiskah pemikiran yang demikian?
Q: Iya Ustadz. Tapi bagaimana kalau sekedar menjalankan? Artinya tidak harus mengakui. Hanya karena memang murni profit (keuntungan) duniawi.
A. Gimana ya? Dalam tulisan saya disebutkan bahwa ada 4 syarat untuk sebuah transaksi bisnis dapat dikategorikan “Syariah”. 1) dilakukan dengan niat lillah. 2) berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah. 3) tidak merugikan dengan sengaja siapapun. 4) tidak terlibat dalam transaksi yang dilarang, seperti alkohol, judi, dan lain-lain.
Pertanyaan saya apakah teman-teman non Muslim melakukan itu dengan niat “lillah”? Apakah teman-teman non Muslim melakukan bisnisnya karena berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah? Atau berdasarkan dorongan profit semata?
Q: Kan niat bukannya tidak perlu dijudge (dihakimi)?
A. Iya benar. Tapi bukan masalahnya ada di saya. Tapi ada pada mereka yang mengaku menjalankan bisnis Syariah itu. Kalau mereka mengaku menjalan bisnis Syariah taoi hatinya tidak mengakuinya, dan menjalankannya karena niat profit (material) maka itulah yang saya istilahkan “Syariah pura-pura”. Atau dalam bahasa yang lebih kencang: Kemunafikan dalam menjalankan bisnis Syariah.
Demikian tanya jawab singkat antara seseorang dan saya dua hari lalu. Sejujurnya penanya bukan hanya satu orang. Tapi beberapa orang dan juga dengan cara dan ekspresi yang berbeda. Yang saya tuliskan di atas hanyalah bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang terima melalui media sosial.
Dari Q&A itu dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada larangan bagi non Muslim untuk mengaku menjalankan bisnis Syariah. Tapi selama mereka tidak mengakui dasar Syariah (Al-Quran dan As-Sunnah), serta menjalankannya bukan untuk tujuan yang lebih mulia dari sekedar profit, maka itu adalah syariah pura-pura.
Bisnis Syariah dalam kepura-puraan adalah sebuah prilaku yang patut dipertanyakan. Kalau sekiranya benar bahwa motifnya hanya sekedar profit maka di sini Umat telah menjadi objek bisnis. Tapi sekiranya bukan sekedar profit maka harusnya ada motif lain, yang boleh jadi dampaknya lebih besar kepada umat ini.
Poinnya adalah Umat memang harus membuka mata. Bahwa resources (kekayaan) yang dimilikinya jangan sampai menjadi alat untuk pelemahan dan penghancuran masa depan Umat itu sendiri. Semoga tidak!
New York, 16 Desember 2019
* Imam di kota New York/Presiden Nusantara Foundation